BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Mengajarkan apresiasi sastra
tidak hanya dengan menyediakan dan menugasi siswa membaca karya sastra, tetapi
dapat juga mengasah kemampuan siswa untuk menciptakan karya sastra. Oleh karena
itu, pemilihan metode/teknik menuangkan ide sangatlah penting untuk memacu
kreativitas siswa dalam mengarang. Dengan demikian, peran guru sangat penting
untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam mengarang. fakta bahwa siswa-siswa
kita ternyata mempunyai kemampuan yang sangat rendah dalam hal mengungkapkan
gagasan atau ide lewat tulisan. Kemampuan mengungkapkan gagasan dan ide lewat
tulisan sering disebut dengan “mengarang”. Walaupun sebenarnya antara mengarang
dengan menulis itu ada bedanya. Kalau menulis
adalah menggungkapkan semua ide atau gagasan dengan menggunakan tulisan.
Baik
gagasan itu berupa fakta maupun hanya khayalan belaka. Sementara
kalau mengarang adalah menulis tanpa harus berdasarkan fakta yang nyata.
Kemampuan
mengungkapkan gagasan secara tulis ternyata dirasakan sangat sulit bagi siswa.
Apalagi guru sendiri kurang mampu memberikan contoh mengarang dengan baik. Dengan
demikian, peran guru sangat penting untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam
menciptakan karya sastra.
PEMBAHASAN
Pembelajaran
Mengarang yang Efektif Bagi Siswa MI/SD
1.
Apresiasi Sastra
Karya sastra dianggap sebagai
hasil proses kreatif pengarang. Menurut Abrams, penelitian karya sastra dengan
menggunakan pendekatan eksprsif memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia
batin pengarang yang bersangkutan. Jika dibayangkan bahwa segala gagasan, cita
rasa, emosi, ide, dan angan-angan merupakan ’dunia dalam’ pengarang, karya
sastra merupakan ’dunia luar’ pengarang. Karya sastra dianggap sebagai sarana
untuk memehami keadaan jiwa pengarang atau sebaliknya (Sugihastuti, 2002:2).
Apresiasi
sastra merupakan interpretasi yang benar terhadap karya sastra. Karenanya,
Hirsch menyatakan apabila pernyataan-pernyataan tentang makna sebuah karya
sastra merupakan pernyataan-pernyataan yang objektif, apabila interpretasi
karya sastra harus menjadi ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu dan bukan
sekadar arena bagi gagasan, khayalan, pilihan pribadi, yang tonggaknya bukanlah
pengetahuan, tetapi apa yang disebut dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih
tingggi sehingga diperlukan standar penilaian yang memperkenankan,
sedikit-sedikitnya secara prinsip, satu dan hanya satu interpretasi sebuah
karya untuk dinilai betul atau benar (Sugihastuti, 2002: 11).
Pernyataan
Hirsch bahwa hanya maksud si pengarang yang memberikan ’standar pembeda yang
benar’ menawarkan alasan mengapa disodorkan bahwa interpretasi sastra perlu
sekali menjadi ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu menjadikan perlunya
pengajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, pengajaran sastra merupakan
salah satu upaya untuk meningkatkan kreativitas siswa menciptakan karya sastra.
2. Menulis dan Mengarang
Menulis bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kadang orang bisa berbicara, tetapi
tidak bisa menulis kembali apa yang dibicarakan. Sebaliknya, ada orang yang
pandai menulis, tetapi tidak bisa membicarakan tulisannya. Namun, ada juga
orang yang pandai berbicara dan menulis. Khusus tentang kemampuan menulis ini,
hambatan yang dialami adalah penuangan ide berupa penulisan kata pertama untuk
mengawali tulisan. Kadang kala dalam menulis selalu muncul pertanyaan: apa yang
akan ditulis, bagaimana menuliskannya, dan pantaskah disebut sebuah tulisan
Meskipun sebenarnya ide itu bisa didapatkan dari mana saja, misalnya dari
pengalaman diri sendiri; dari cerita orang lain; peristiwa alam; ataupun dari
khayalan kita, menulis tetap dianggap tidak mudah. Kesulitan dalam menuangkan
ide ternyata juga sering dialami oleh siswa sekolah dasar. Padahal, berdasarkan
aspek keterampilan berbahasa Indonesia, keterampilan menulis merupakan salah
satu kompetensi berbahasa yang harus dimiliki oleh setiap siswa selain
keterampilan membaca, mendengarkan, dan berbicara. Kesulitan-kesulitan yang
dihadapi oleh siswa adalah mengungkapkan gagasan dalam bentuk tulisan, membuat
alur cerita yang runtut, dan menggunakan bahasa yang mudah dibaca (Rusilah,
2006:3).
Berkaitan
dengan pengajaran sastra berupa menciptakan karya sastra, masih ada kendala
pada saat melaksanakan pengajaran mengarang. Proses belajar mengajar yang
selama ini masih banyak dijumpai menggunakan pendekatan tradisional merupakan
salah satu faktor penghambat kreativitas menulis. Guru sebagai penentu proses
pembelajaran sedangkan siswa secara pasif hanya menerima rumus atau kaidah.
Pada umumnya pendekatan tradisional tidak membangkitkan kreativitas siswa
sehingga siswa mengalami kesulitan pada saat mengarang.
Permasalahan
tentang kreativitas menulis ini sebenarnya bisa dilatih dan dijadikan sebuah
keterampilan dengan cara membiasakan diri berlatih menulis. Untuk itu,
perlu ditemukan metode menulis yang tepat dan praktik menulis berdasarkan
metode tersebut.
Penelitian pengajaran sastra,
terutama tentang kemampuan menulis sebuah karya sastra, sudah banyak dilakukan.
Henry Yustanto dkk. telah melakukan penelitian dengan judul “Kondisi Pengajaran
Sastra Indonesia di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Surakarta: Studi Kasus
(2004)”. Dalam penelitian itu mereka menganalisis realitas proses belajar
mengajar sastra Indonesia di SLTP dan tanggapan siswa terhadap pelaksanaan
pengajaran sastra di sekolah.
Penelitian lain tentang menulis dilakukan oleh Rita Inderawati dalam
desertasinya tahun 2005 berjudul “Model Respons Nonverbal dan Verbal dalam
Pembelajaran Sastra untuk Mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa SD: Studi
Kuasi-Eksperimen di SD Negeri ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran
2003/2004”. Tujuan umum penelitian yang dilakukan adalah untuk mengembangkan
keterampilan menulis siswa dengan menerapkan respon pembaca dan simbol-simbol
visual sehingga mampu mencerdaskan moral siswa. Secara khusus, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan gambaran tentang keberterimaan, perbandingan,
dampak, kelebihan, kelemahan, dan model pembelajaran sastra untuk mengembangkan
keterampilan menulis.
Selain penelitian di atas, masih ada penelitian lain tentang penelitian
keterampilan menulis, khususnya prosa sederhana yang dilakukan oleh Rusilah
berjudul “Penerapan Strategi Area Isi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis
Prosa Sederhana bagi Siswa Kelas V SDN Sendangmulyo 03, Kecamatan Tembalang,
Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007". Penelitian yang dilakukan merupakan
penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam
menuangkan ide saat menulis sebuah prosa sederhana (cerpen), meningkatkan
motivasi siswa dalam melakukan aktivitas menulis prosa sederhana (cerpen),
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa dalam menulis prosa sederhana
(cerpen), dan meningkatkan keterampilan guru dalam memotivasi siswa untuk
menulis prosa sederhana (cerpen).
Penelitian
sejenis juga pernah dilakukan oleh Ari Wijayanti, mahasiswa Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang dalam skripsinya yang
berjudul “Kemampuan Menulis Karangan Narasi Siswa Kelas III SD Negeri Blitar
Kecamatan Sukorejo Tahun Ajaran 2006/2007”. Dalam skripsi tersebut siswa
diharapkan tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan membuat karangan. Namun,
juga diperlukan kecermatan untuk membuat argumen dan memiliki kemampuan untuk
menuangkan ide atau gagasan dengan cara membuat karangan yang menarik untuk
dibaca.
Sutarman melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Mengajar Kooperatif
Tipe Student Team Achievement Division (STAD) bagi Peningkatan Kemampuan
Menulis: Penelitian Tindakan Kelas Pada Pembelajaran Menulis Siswa Kelas III
SMPN 2 Jatinunggal Sumedang Tahun Pelajaran 2004/2005”. Penelitian ini
menggunakan model yang memungkinkan siswa untuk belajar menulis melalui praktik
menulis berkelompok dengan memanfaatkan potensi interaksi dan kerja sama
antarsiswa. Ketika proses belajar berlangsung, siswa dapat berdiskusi dan
saling mengoreksi tulisan. Dari sini diharapkan siswa dapat menemukan dan
menyadari kekurangannya sendiri, kemudian memperbaikinya agar tidak mengulangi
lagi kesalahan penulisan karangan.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sonya Inna S. dengan judul “Pengembangan
Program Pembelajaran Kontekstual dalam Pelajaran Menulis: Studi Pengembangan
pada Kelas V Sekolah Dasar Lembaga Pendidikan Katholik di Bandung”. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan model pembelajaran kontekstual yang
dapat diterapkan pada pelajaran menulis di Sekolah Dasar. Program
Pembelajaran Kontekstual dalam Pelajaran Menulis diperoleh melalui penelitian
menggunakan metode research and development. Tahap penelitian meliputi studi pendahuluan,
pengembangan, uji coba model secara terbatas dan uji coba model secara lebih
luas.
3.
Pengajaran Sastra di Sekolah
Variasi
berbahasa menjadi pusat pembelajaran bahasa. Ini berarti model pembelajaran
bahasa harus mencakup sebanyak mungkin kegiatan pelangsungan berbahasa
Indonesia. Termasuk di dalam kegiatan pelangsungan berbahasa Indonesia ini
adalah keterampilan menulis. Melalui keterampilan menulis, siswa dilatih untuk
berbahasa aktif dalam bentuk tertulis.
Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia harus menciptakan usaha dan
kemauan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan
wajar. Pembelajaran bahasa Indonesia harus mendorong siswa untuk mau dan
berusaha untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik, benar, dan
wajar untuk pelbagai tujuan dan dalam pelbagai situasi. Dengan demikian,
pembelajaran bahasa Indonesia terpusat pada siswa. Ini berarti aktivitas
terbesar dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah siswa terdorong, mau, giat,
dan berusaha mendengarkan uraian dan percakapan dalam bahasa Indonesia, membaca
naskah tulis bahasa Indonesia, berbicara dalam bahasa Indonesia untuk pelbagai
keperluan, dan menulis dalam bahasa Indonesia untuk pelbagai tujuan dan maksud
(Parera, 1996:13).
3.1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
3.1.1 Hakikat KTSP
Pemerintah telah mempercepat pencanangan “Millenium
development goals” yang semula dicanangkan tahun 2020 dipercepat menjadi
tahun 2015. Millenium
development goals
adalah era pasar bebas, era globalisasi, dan era persaingan mutu dan kualitas.
Mutu dan kualitas menjadi standar parameter yang sangat penting agar sumber
daya manusia Indonesia dapat bersaing dengan luar negeri. Sumber daya manusia
yang berkualitas merupakan suatu keharusan yang tak dapat ditawar-tawar lagi.
Era mutu dan kualitas menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi,
misi, tujuan, dan strategi sesuai kebutuhan. Demikian juga halnya dalam
pendidikan.
Kurikulum
adalah komponen sistem pendidikan yang dipakai sebagai acuan untuk menghasilkan
lulusan yang memiliki “kemampuan berpikir”. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan
dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan sebagai penggerak mesin utama
pendidikan yaitu pembelajaran. KTSP menjadi seperangkat pengembangan kurikulum
yang diharapkan memenuhi kebutuhan pendidikan. Sebagai wujud reformasi
pendidikan, KTSP memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk
mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhannya
masing-masing. Pada sistem KTSP sekolah memiliki kekuasaan dan tanggungjawab
penuh dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi, dan
tujuan.
Dalam KTSP,
pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah, komite sekolah,
dewan pendidikan, tenaga kependidikan, wali murid, tokoh masyarakat, dan
lembaga lain yang bisa dilibatkan dalam menetapkan kebijakan berdasarkan
ketentuan-ketentuan pendidikan yang berlaku. Selanjutnya, kurikulum dirumuskan
oleh komite sekolah menjadi program-program operasional untuk mencapai tujuan
sekolah. KTSP didedikasikan sebagai tonggak pembaharu yang dapat mendongkrak
kualitas pendidikan dan mampu menciptakan generasi unggul yang oleh pemerintah
dan semua pihak diharapkan membentuk keselarasan antara pendidikan dan
pembangunan, serta memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Dalam hal ini keterampilan menulis menjadi kata kunci agar tiap-tiap siswa
mampu memaksimalkan potensi dirinya.
Pembahasan
tentang konsep dasar pengajaran sastra Indonesia berdasarkan pada kurikulum
yang berlaku pada saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Berdasarkan kurikulum tersebut, pengajaran sastra Indonesia di sekolah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pengajaran bahasa Indonesia.
Konsep dasar pengajaran sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
secara substansi menunjukkan posisi pengajaran sastra lebih dideskripsikan
secara jelas dan operasional. Kejelasan posisi ini diungkapkan dalam tujuan
umum pembelajaran, yaitu peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai
dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan
terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri (BNSP
2006:317). Standar kompetensi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
meliputi empat aspek keterampilan di dalam belajar bahasa yakni: mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis yang berkaitan dengan ragam sastra. Dengan
demikian, posisi materi pengajaran sastra dalam pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia semakin baik dan deskripsinya semakin jelas.
Tujuan
pengajaran umum itu dijabarkan lagi dalam beberapa tujuan khusus. Tujuan khusus
yang terkait dengan pengetahuan sastra, yaitu siswa dapat menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti,
serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selain itu, dari
pembelajaran sastra siswa diharapkan dapat menghargai dan membanggakan sastra
Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Pada akhir
pendidikan di SD/MI, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya sembilan
buku sastra dan nonsastra (BNSP, 2006:318).
Adapun standar kompetensi dalam kemampuan bersastra disebutkan dalam Kurikulum
Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) antara lain sebagai berikut.
1. Mendengarkan: peserta didik mampu
mendengarkan karya sastra yang dikisahkan atau dibacakan dan memahami pikiran,
perasaan, dan imajinasi yang terkandung di dalam karya sastra berbentuk
dongeng, puisi, cerita, drama, pantun, dan cerita rakyat.
2. Berbicara: peserta didik mampu
menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan atas pemahaman
mereka dalam membaca karya sastra anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan
puisi.
3. Membaca: peserta didik mampu
menggunakan berbagai teknik membaca untuk memahami wacana karya sastra anak
berbentuk puisi, dongeng, pantun, percakapan, cerita, dan drama.
4. Menulis: peserta didik mampu menulis
karangan sederhana untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam
bentuk cerita, puisi, dan pantun (BNSP, 2006:16).
3.2 Menulis Kreatif
3.2.1 Menulis
Kata 'menulis' mempunyai dua arti. Pertama,
menulis berarti mengubah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia menjadi
tanda-tanda yang dapat dilihat. Kedua, kata 'menulis' mempunyai arti suatu
kegiatan mengungkapkan gagasan secara tertulis. Orang yang melakukan kegiatan
ini disebut penulis dan hasil kegiatannya berupa tulisan (Asrul Wijayanto dalam
Rusilah, 2006:6).
Sebelum menulis atau mengarang harus terlebih dahulu menyiapkan kerangka
karangan. Kerangka karangan memungkinkan penulis membedakan gagasan utama dan
gagasan-gagasan tambahan sehingga dapat membantu penulis menyusun karangan
secara teratur. Wujud dan gagasan dapat dilihat secara jelas hingga susunan dan
hubungan timbal balik antargagasan itu tepat.
3.2.2 Menulis Kreatif
Menulis
kreatif bisa disimpulkan sebagai suatu kegiatan mewujudkan apa yang ada di otak
dengan sebagai suatu langkah awal yang ditulis oleh tangan kita (Laksana,
2007:3). Hal ini didukung oleh pengertian menulis kreatif dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ke-3 yang menyatakan kegiatan melahirkan pikiran
atau perasaan dengan tulisan yang memiliki daya cipta (2003:599).
Dalam rangka menulis kreatif, yang dibutuhkan adalah adanya kemauan walau tanpa
ide (Laksana, 2007:5). Dengan adanya kemauan untuk menulis, terciptalah tulisan.
Keinginan menulis harus diwujudkan menjadi sebuah tindakan menulis dan itu
memerlukan sedikit kemauan untuk menyingkirkan penundaan dan tidak ambil peduli
terhadap mood. Langkah selanjutnya adalah memunculkan ide. Ide dapat
muncul dengan cara memancing datangnya ide, menangkap, dan mengembangkannya.
Langkah selanjutnya adalah menulis berdasarkan ide yang telah dikembangkan
tersebut. Pada saat menulis cobalah untuk menulis secara sederhana dan apa
adanya. Menulis sebagaimana berbicara supaya dipahami. Menulis harus dilakukan
secara cepat dengan membatasi waktu. Menulislah yang buruk, lalu editlah.
Menulis tidak boleh dilakukan secara bersamaan dengan mengedit. Hal ini untuk
menghindari penyumbatan mengalirnya kata dan terhambatnya pengembangan ide. Jangan
pedulikan apakah susunan kalimatnya baik atau buruk. Yang paling penting adalah
menumpahkan semua yang ingin disampaikan. Pada saat mengedit inilah otak akan
bekerja untuk menyusun tulisan yang dibuat sehingga mengalir dan mudah dibaca.
Ubah susunan kalimat kalau perlu. Buang bagian dari kalimat atau kalimat itu
sendiri jika dirasa tidak tepat. Pikirkan pilihan kata yang dianggap kuat.
Cara lain
yang dapat dilakukan untuk menulis kreatif adalah dengan menggunakan kata
kunci. Kata kunci tersebut digunakan untuk mengawali sebuah paragraf.
Pengembangan paragraf dilakukan sebagai pengembangan kata kunci dengan cara
menguraikan secara detail mengenai karakteristik kata kunci tersebut, bisa
ditinjau dari kegunaan, bentuk, warna, ukuran, letak, rasa, sifat, aroma,
maupun cara penggunaannya. Misalkan pada sebuah paragraf digunakan tiga kata
kunci yang sepertinya tidak ada hubungannya, ternyata setelah mengalami tahap
pengeditan akan terbentuklah sebuah jalinan yang memiliki keterkaitan dan bisa
dipahami maksud yang tersurat dan tersirat pada tulisan itu secara baik oleh
pembaca.
Menulis
kreatif sebagai wujud kegiatan mengarang memang perlu dilatihkan pada siswa.
Oleh karena itu, peran aktif guru sangat diperlukan untuk membantu siswa
menuangkan ide. Siswa perlu banyak latihan mengarang untuk meningkatkan
kreativitasnya dalam menulis. Latihan ini merupakan umpan yang diberikan kepada
siswa agar ditemukan metode yang paling tepat dan menggugah imajinasi siswa
dalam menumpahkan idenya dalam bentuk karangan.
Metode yang dipilih harus disesuaikan dengan karakteristik siswa, meliputi:
umur, tingkatan kelas, latar belakang sosial ekonomi, lingkungan, dan
pengalaman. Guru bisa juga mengambil bahan pemancing ide dari kebiasaan siswa
yang pada umumnya senang dengan hal-hal yang masih bersifat khayal, komik,
dongeng, binatang, dan hobi. Semua bahan pemancing ide itu bisa berupa visual
atau adio atau audio visual yang dapat merangsang kreativitas siswa dengan
kemasan yang menarik.
BAB III
KESIMPULAN
Pembelajaran mengarang sangat berguna bagi anak
didik untuk melatih keterampilan dalam menuangkan ide-ide yang ada pada anak
didik. Bagi seorang guru untuk mencapai hasil yang maksimal perlu mempelajari
strategi didalam penyusunan mengarang itu sendiri
1. Mendengarkan: peserta didik mampu
mendengarkan karya sastra yang dikisahkan atau dibacakan dan memahami pikiran,
perasaan, dan imajinasi yang terkandung di dalam karya sastra berbentuk
dongeng, puisi, cerita, drama, pantun, dan cerita rakyat.
2. Berbicara: peserta didik mampu
menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan atas pemahaman
mereka dalam membaca karya sastra anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan
puisi.
3. Membaca: peserta didik mampu
menggunakan berbagai teknik membaca untuk memahami wacana karya sastra anak
berbentuk puisi, dongeng, pantun, percakapan, cerita, dan drama.
4. Menulis: peserta didik mampu menulis
karangan sederhana untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam
bentuk cerita, puisi, dan pantun (BNSP, 2006:16).
Daftar
Pustaka
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.
Laksana, A.S. 2007. Creative Writing: Tip dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel. Jakarta: 2007.
Parera, Jos Daniel. 1996. Kurikulum 1994 Bahasa Indonesia: Pedoman Kegiatan Belajar Bahasa Indonesia Landas Oikir Landas Teori untuk Guru Bahasa Indonesia SLTP dan SMU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar