PEMIKIRAN FILSAFAT
- Humanisme, Humanisme berasal dari Barat dan mengalami perkembangan dalam lingkungan pemikiran filsafat Barat. Karena itu, untuk mengkaji dan menganalisis gerakan humanisme beserta pengaruhnya pada dasar-dasar epistemologi Barat sudah seharusnya merujuk ke berbagai ensiklopedia Barat yang akurat agar kajian bisa dilakukan secara ilmiah dan bebas dari berbagai kecenderungan subyektif. Dalam rangka ini, kita mengutip berbagai ensiklopedia yang tersedia, antara lain Encyclopedia of Philoshopy karya Paul Edward yang menjelaskan tentang humanisme sebagai berikut:Humanisme adalah sebuah gerakan filsafat dan literatur yang bermula dari Italia pada paruh kedua abad ke-14 kemudian menjalar ke negara-negara Eropa lainnya. Gerakan ini menjadi salah satu faktor munculnya peradaban baru. Humanisme adalah paham filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria segala sesuatu. Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek. Pada arti awalnya, humanisme merupakan sebuah konsep monumental yang menjadi aspek fundamental bagi Renaisans, yaitu aspek yang di jadikan para pemikir sebagai pegangan untuk mempelajari kesempurnaan manusia di alam natural dan di dalam sejarah sekaligus meriset interpretasi manusia tentang ini. Istilah humanisme dalam pengertian ini adalah derivat dari kata-kata humanitas yang pada zaman Cicero dan Varro berarti pengajaran masalah-masalah yang oleh orang-orang Yunani disebut paidea yang berarti kebudayaan. Pada zaman Yunani kuno pendidikan dilakukan sebagai seni-seni bebas, dan ketentuan ini dipandang layak hanya untuk manusia karena manusia berbeda dengan semua binatang. Di bawah komando keluarga Medici atau setidaknya pada zaman merekalah para humanis mulai menarik perhatian dan mewarnai opini masyarakat Italia. Kaum humanis menggiring perhatian rakyat dari agama ke filsafat dan dari langit ke bumi. Kekayaan pikiran dan seni masa-masa kesyirikan dikembalikan kepada sebuah generasi yang terpukau. Sejak zaman Ariosto Ludovico, orang-orang yang gila ilmu pengetahuan ini mulai tenar dengan nama kaum humanis, sebab mereka membaca telaah kebudayaan klasik tentang humanitas (berkaitan dengan dunia manusia) atau humanuras (kesusasteraan yang lebih manusiawi, dan bukan berarti kesusasteraan yang lebih berprikemanusiaan, melainkan berarti kesusasteraan yang lebih banyak berkaitan dengan dunia manusia). Jadi, tema kajian yang paling tepat ialah manusia itu sendiri dengan kemampuan yang terpendam di dalam dirinya, dan keindahan jasmani dengan segala kesenangan dan penderitaan panca indera dan perasaannya dan dengan segala kekuatan akalnya yang menakjubkan. Poin-poin inilah yang mendapat perhatian penuh seperti yang pernah terjadi dalam kesusasteraan dan seni Yunani dan Romawi kuno.Ideologi-ideologi dibawah ini adalah ajaran-ajaran yang terbentuk berdasarkan paham humanisme:
1.
Komunisme,
karena di dalam ideologi ini humanisme bisa menghapus keterasingan manusia dari
dirinya akibat kepemilikan swasta dan sistem masyarakat kapitalisme.
2.
Pragmatisme,
karena pandangan yang menjadikan manusia sebagai orientasi, sebagaimana
pandangan Protagoras, telah menjadikan manusia sebagai kriteria segala sesuatu.
3.
Eksistensialisme
yang telah memberikan argumentasi bahwa tidak ada satupun alam yang sebanding
dengan alam subyektivitas manusia.
Dengan demikian, sebagian besar
ajaran filsafat panca Renaisans secara mendasar telah dipengaruhi pikiran
humanistik. Contohnya, komunisme yang sebagian besar pandangannya
tertuangkan kepada masalah kerakyatan, pragmatisme yang ajarannya bersandarkan
kepada esensi perbuatan manusia, personalisme yang meyakini spirit manusia
memiliki daya pengaruh yang terbesar, dan eksistensialisme yang banyak
memberikan penekanan kepada wujud aktual manusia, semuanya memandang manusia
sebagai satu wujud yang bertumpu pada esensinya sendiri serta wujud dimana
dirinya adalah pelaku dan tujuannya sendiri. Prinsip-prinsip pemikiran
humanisme dimana yang terpenting ialah poin-poin sebagai berikut:
1.
Manusia adalah standar dan kriteria segala
sesuatu.
2.
Penekanan terhadap urgensi kembali kepada
peradaban era klasik untuk menghidupkan kembali dan mengembangkan potensi dan
kekuatan yang diyakini orang-orang terdahulu.
3.
Penekanan secara berlebihan kepada kebebasan dan
ikhtiar manusia akibat kebencian kepada intimidasi dan kediktatoran para
penguasa abad pertengahan.
4.
Pengingkaran terhadap status para rohaniwan
sebagai perantara antara Tuhan dan manusia.
5.
Penyerahan sepenuhnya kekuasaan dan penentuan
nasib, dan kekuasaan despotisme harus ditolak mentah-mentah.
6.
Manusia adalah sentral alam semesta.
7.
Akal manusia sejajar dengan akal Tuhan.
8.
Penolakan sistem-sistem tertutup filsafat,
prinsip dan keyakinan-keyakinan agama, serta argumentasi-argumentasi ekstraktif
mengenai nilai-nilai kemanusiaan.
9.
Penolakan terhadap praktik-praktik asketisme,
dan perhatian mesti dipusatkan kepada faktor jasmani dan kenikmatan-kenikmatan
fisik.
10.
Akal manusia adalah pimpinan manusia, dan status
agama sebagai komando harus ditiadakan.
11.
Kenikmatan-kenikmatan jasmani adalah tujuan
final segala aktivitas manusia.
12.
Manusia adalah binatang politik.
13.
Dunia politik harus diceraikan dari segala
pandangan metafisik atau agama, dan manusia adalah aktor yang memiliki wewenang
mutlak dalam dunia politik.
14.
Dalam psikologi, setiap manusia diteliti sebagai
satu spesis tunggal, dan bukan sebagai satu individu yang merupakan
bagian dari satu spesis manusia. Atas dasar ini, manusia berwenang untuk
semata-mata mengikuti tatanan nilainya sendiri.
15.
Aktualisasi diri, pemeliharan diri dan
peningkatan diri mesti dipelajari dalam setiap individu.
16.
. Manusia adalah pencipta lingkungannya
dan bukanlah hasil lingkungannya.
17.
Manusia harus terkonsentrasi sepenuhnya kepada
dirinya.
18.
Kelayakan kepribadian setiap individu bisa
terbentuk tanpa keimanan kepada Tuhan.
19.
Keberadaan agama dipandang sebagai faktor
superfisial yang diperlukan demi popularitas nilai-nilai kepribadian manusia
dan perbaikan sosial, namun agama ini bisa jadi merupakan agama produk manusia
ala August Comte.
20.
Penekanan terhadap persatuan antar segenap
agama, baik agama yang berpangkal dari Nabi Ibrahim maupun agama
khurafat.
- Rasionalisme, Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan. Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran. Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan). Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
- Positifisme, Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
- Empirisme, Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)”. Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau “sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja. Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
SCIENCE / ILMU PENGETAHUAN
‘Science’ merupakan bagian dari himpunan informasi yang
termasuk dalam pengetahuan ilmiah, dan berisikan informasi yang memberikan
gambaran tentang struktur dari sistem-sistem serta penjelasan tentang pola-laku
sistem-sistem tersebut. Sistem yang dimaksud dapat berupa sistem alami, maupun
sistem yang merupakan rekaan pemikiran manusia mengenai pola laku hubungan
dalamtatanan kehidupan masyarakat yang diinstitusionalisasikan. Dalam bahasa
Inggris dapat dirumuskan sebagai berikut: ‘Science is a sub-set of the
information set on [human] scientific knowledge that describes the structure of
systems and provides explanation on their behavioural patterns, wether natural
or human institutionalized ones’. Pergerakan yang dialami oleh
pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga menjadi
ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu
pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses
pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang
dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan (Ash-Shadr 1995). Dalam
pembangungan ilmu pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar
ilmu pengetahuan dapat menjadi sebuah paham yang mengandung makna
universalitas. Beberapa tiang penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu
sebenarnya berupa penilaian yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan
aksiologi (Jujun 1990: 2). Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu
pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu
pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini,
didunia akademik anutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses
berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah
mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses
berpikir yang ada diluar dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam
ilmu pengetahuan harus mengikuti cara filsafat pengetahuan atau epistemologi,
sementara dalam epistemologi dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan
memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut filsafat ilmu (Didi 1997:
3).
PERAN FILSAFAT ILMU DALAM ILMU PENGETAHUAN
Menurut Didi (1997) ilmu pengetahuan (dalam hal ini
pengetahuan ilmiah) harus diperoleh dengan cara sadar, melakukan sesuatu
tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan cara yang
lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian
diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilimiahnya
(kesahihan). Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada
sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek
metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat
ilmu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan
pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern
yang ada sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang
telah dihasilkan oleh pemikiran manusia. Filsafat ilmu dalam perkembangannya
dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh
pemikir dalam filsafat ilmu yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern
yaitu Rene Descartes (aliran rasionalitas) (Herman 1999) dan John Locke (aliran
empirikal) (Ash-Shadr 1995) yang telah meletakkan dasar rasionalitas dan
empirisme pada proses berpikir. Kemampuan rasional dalam proses berpikir
dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses
“create” ilmu pengetahuan (Hidajat 1984a). Akumulasi penelaahan empiris dengan
menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat
menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan
tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak
pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga
dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan
ilmiah dengan pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir
rasional sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan
berpikir rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang
dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang
merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir
secara rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka
kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir
secara empiris. Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara
berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya
merupakan implementasi dari metode ilmiah (Jujun 1990). Berdasarkan
terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pemerhatian
atau eksperimen, bukan teori (Kamus Dewan 1994: 336) atau sesuatu yang berdasarkan
pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang
telah dilakukan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:262). Dengan demikian
sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta (sesuatu yang benar dan
dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan melalui penginderaan dalam
dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah diamati, melainkan
penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada fakta
disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan
semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin berubah dengan
berubahnya pengamatan (Khan 1983). Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang
berdasarkan taakulan, menurut pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras (Kamus
Dewan 1994: 1107) atau sesuatu yang dihasilkan menurut pikiran dan timbangan
yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal, menurut rasio,
menurut nisbah (patut) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:820). Dengan
demikian rasionalitas mencakup dua sumber pengetahuan, yaitu; pertama,
penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat alami (fitrah) (Ash-Shadr 1995: 29).
Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk
pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak
hanya didapatkan dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan
hanya merupakan upaya memahami empirikal. Sementara, pemahaman rasional
mengandung makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan
pengetahuan-pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.
Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir
rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena
kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika
berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas
maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena
itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu
pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme,
empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan (Hidajat
1984b). Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap
benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian
atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak
boleh dibantah dan diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran
pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan
kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir (Kamus
Dewan 1994: 311 & 978) dan (Kamus Umum Bahasa Indonesia 1995: 239 &
729). Dari terminologi di atas dogma dan paradigma sebenarnya mempunyai kaitan
makna, karena paradigma merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer.
Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya
sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan
sendirinya (Hidajat 1984a). Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma
dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya
rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang
dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif
maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai
kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi
yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan
memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu
pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup
dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia.
Oleh karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang
oleh dirinya sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya
kita telah berupaya memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab
permasalahan kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan
kehidupan saat ini sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis
yang kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak
pada seluruh aspek kehidupan (Capra 1999). Dengan demikian jika kita
mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan
kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma ilmu pengetahuan
merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup serius (Kuhn 1970).
NILAI NILAI YANG DITIMBULKAN SCIENCE
- Teknologi, Teknologi merupakan bagian dari himpunan informasi yang termasuk dalampengetahuan ilmiah yang berisikan informasi preskriptif mengenai penciptaansistem-sistem dan pengoperasian sistem-sistem ciptaan tersebut. Pengertian yangdirumuskan ini tidak membatasi bahwa sistem yang dimaksud hanyalah sistem-sistem fisik (physical systems). Bila dinyatakan dalam bahasa Inggris, maka rumusan tentang teknologi terdahulu dapat dinyatakan sebagai berikut: ‘Technology is a sub-set of the information set on [human] scientific knowledge thatprovides prescriptive information on (a) the creation of systems and (b) the operation ofthose systems’. Bila informasi yang bersifat teknologis dioperasionalisasikan (operationalized), artinya petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalam informasi tersebut diikuti dan dilaksanakan, terbentuklah sistem-sistem baru hasil ciptaan orang ataumasyarakat yang mengoperasikan teknologi tersebut. Orang sering memandang sistem-sistem yang terciptakan tersebut sebagai teknologi juga, dan pandangan demikian sebaiknya tak diikuti, karena menimbulkan kerancuan dalam pengembangan pemikiran selanjutnya. Lebih tepat bila sistem yang tercipta itu dinyatakan sebagai fenomena teknolgis atau technological phenomena. Teknologi yang berkorespondensi dengan suatu fenomena teknologis bukanlah yang tampak atau dirasakan sebagai fenomena teknologis tersebut, melainkan informasi preskriptif yang memungkinkan dilaksanakannya tindakan-tindakan hingga suatu sistem yang berupa fenomena teknologis tersebut terbentuk, atau teroperasikan. Teknologi merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang terkait dengan penciptaan sistem-sistem, sedangkan‘science’ merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang terkait dengan penggambaran dan penjelasan mengenai sistem-sistem yang telah ada.
- Materialis, Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori materialisme termasuk paham ontologi monistik. Materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme. Materialisme adalah ajaran yang menekankan keunggulan faktor-faktor material atas yang spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, epistimologi atau penjelasan historis. Ada beberapa macam materialisme, yaitu materialisme biologis, materialisme parsial, materialisme antropologis, materialisme dialektis, dan materialisme historis.Materialisme adalah sistem pemikiran yang meyakini materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi. Berakar pada kebudayaan Yunani Kuno, dan mendapat penerimaan yang meluas di abad 19, sistem berpikir ini menjadi terkenal dalam bentuk paham Materialisme dialektika Karl Marx.
- Refleksi/reifikasi, Reifikasi adalah kecenderungan untuk mewujudkan segala kebudayaan dalam bentuk-bentuk, angka-angka atau kuantitas dan bentuk lahiriah. Kepuasan pekerjaan diukur dari segi material, tingkah laku lahiriah, rupa, suara dan bahasa yang bisa ditangkap oleh pancaindera. Hal ini tampak pada laporan pembangunan yang memperlihatkan keberhasilan-keberhasilan dengan angka, dalam kuantitas dan statistik perkembangan (time-series). Kecenderungan ini seringkali berlebihan misalnya dengan mengukur perasaan cinta, kesenangan, keindahan atau kebahagiaan. Karena itu yang bersifat mental atau rohaniah tidak tampak dan dirasakan. Di sinilah terjadinya pendangkalan pemaknaan kebudayaan. Sukses kesenian umpamanya, diukur dengan nilai komersial suatu pertunjukan. Ekses yang tampak adalah produksi massal dan komersialisasi barang-barang kesenian, yang menjadikan manusia sebagai alat produksi dan objek pemerasan, atau ritualisasi kegiatan ibadah atau bahkan komersialisasi agama.
- Manipulasi, Manipulasi adalah kegiatan yang menyalahgunakan proses dan barang kebudayaan untuk kepentingan yang rendah, misalnya demi keuntungan. Manipulasi ini tampak dalam iklan yang mengelabui orang tentang suatu produk, misalnya melebih-lebihkan khasiat suatu obat atau mengubah informasi dampak negatif suatu barang konsumsi menjadi sesuatu yang bermanfaat. Misalnya memperagakan rokok yang sebenarnya menggangu dan merusak kesehatan menjadi simbol kejantanan atau gaya hidup pria yang terhormat. Maksudnya adalah supaya barang itu laku dijual, padahal pengonsumsian atau penggunaannya akan merugikan, tetapi hal itu disembunyikan dengan mengelabui orang dengan video klip atau film-iklan. Manipulasi itu sering terkesan merupakan pembohongan publik, namun merupakan informasi yang efektif dan mengandung nilai komersial yang tinggi. Di sini yang banyak dimanipulasi adalah hasil karya kesenian atau dakwah keagamaan.
- Pragmatisme, Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme. Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia–yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia– sebagaimana akan diterangkan nanti. Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James.
- individualisme, Individualisasi adalah kecenderungan memecah masyarakat menjadi individu-individu yang dikemudikan oleh kepentingan pribadi (self-interest) yang sempit. Sebenarnya dampak individualisasi itu perlu dibedakan antara individualisme dan egoisme. Individualisme adalah paham yang menghargai individu dan menghormati diri pribadi seseorang yang otonom yang memiliki hak-hak asasi dalam suatu negara atau masyarakat. Individualisme itu melahirkan penghargaan pada diri sendiri, tetapi harus juga menghargai individu yang lain. Individualisme adalah juga penghargaan pada hak-hak pribadi, misalnya hak milik dan kebebasan. Tetapi hak milik dan kebebasan seseorang itu dibatasi oleh hak milik dan kebebasan orang lain. Karena itu, maka individualisme menghasilkan kebebasan dan otonomi individu tetapi juga sekaligus kewajiban-kewajiban asasi individu terhadap masyarakat. Dampak lain individualisasi adalah egoisme, yaitu sikap yang mementingkan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain. Egoisme ini adalah penyimpangan dari tujuan kebudayaan, sedangkan individualisme, jika dipahami dan dipraktekkan secara benar, masih berada dalam ruang lingkup kebudayaan, karena individualisme memberikan penghargaan dan pemuliaan kepada manusia sebagai individu. Namun individualisme ini bisa kebablasan menjadi egoisme karena melepaskan dirinya dari masyarakat. Karena itu maka individualisme harus diimbangi dengan prinsip-prinsip komunitarian karena individu itu tidak mungkin ada atau berfungsi tanpa komunitas. Kombinasi antara individualisme dan komunitarianisme, yang merupakan harmonisasi, jalan tengah dan moderasi itulah yang membentuk kebudayaan.
KRISIS ABAD 20
Dengan
terbitnya buku Newton (pada tahun 1686) yang berjudul “Philosophiae Naturalis
Principia Mathematica” maka muncullah suatu babak baru dalam dunia sains
modern. Teori gravitasi Newton telah mendorong ilmu pengetahuan berkembang
pesat di dunia Barat. Perkembangan IPTEK tersebut ditandai oleh adanya rentetan
temuan-temuan baru seperti temuan tentang listrik (Michael Faraday), gaya
elektromagnetik (James Clerk Maxwell, 1870) dalil temuan Sinar-X (Henry
Bacquerel). Dengan adanya penemuan tersebut maka banyak masalah praktis dalam
kehidupan manusia yang dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Manusia mulai
menikmati dan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam perkembangan teknologi
pangan/pertanian, transportasi, genetika, industri dan komunikasi. Dampak dari
kemajuan IPTEK tersebut adalah terjadinya akselerasi pertumbuhan penduduk dan
peningkatan kemakmuran yang sangat pesat. Puncak perkembangan IPTEK
terjadi mulai awal abad 20 yang ditandai dengan munculnya Tcori RelatiFitas
Einstein (1905). Teori ini menyatakan bahwa empat komponen mekanistis yakni
zat, gerak, ruang dan waktu (yang diasumsikan bersifat absolut oleh Newton)
merupakan sesuatu yang bersifat relatif. Zat pada prinsipnya hanya merupakan
bentuk lain dari energi, dengan rumus yang termasyur E = mc2. Dengan kata lain,
munculnya teori ini sekaligus mengakhiri era kejayaan Newtonian. Teori
Relativitas tersebut ternyata dalam waktu relatif singkat mendorong terjadinya
revolusi besar di bidang pemanfaatan energi atom, komunikasi persenjataan dan
bahkan sampai ke penjelajahan ruang angkasa. Sekali lagi, seolah-olah manusia
dilecut untuk melihat kenyataan bahwa rasio atau akal telah ‘memandu’ dunia ke
era yang spektakuler. Rasio seolah-olah menjadi tumpuan dan harapan utama dalam
pengembangan kehidupan manusia di dunia Barat maupun di kalangan masyarakat
lain yang berkiblat ke dunia Barat. Tahta’ kejayaan rasio Barat mulai
tergetar saat born atom yang dianggap merupakan salah satu “produk gemilang”
IPTEK, menelan korban ratusan ribu jiwa manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada
tahun 1945. Manusia mulai tergelitik untuk berpikir “apakah rasio manusia boleh
tetap dibiarkan terus menjelajah bebas tanpa kendali?”. Sampai di
penghujung abad 20, kemajuan IPTEK masih terus berjalan pesat, bahkan temuan
temuan terkini di bidang telekomunikasi, komputerisasi dan
keruang-angkasaan telah membuat seolah-olah bumi menjadi sebuah titik
kecil di tengah belantara rasio”. Namun demikian kegelisahan semakin
terasa mengingat manusia semakin diperhadapkan pada kenyataan yang
bersifat kontroversial dengan ‘apa yang diharapkan orang dari penjelajahan
rasionya .Kemajuan pesat IPTEK Barat telah menunjukan bukti munculnya
kehancuran.
konten yang bagus, terimakasih sangat bermanfaat!
BalasHapus