SEJARAH SASTRA DI INDONESIA
Sejarah sastra Indonesia tentu tak bisa menafikan
peran Balai Pustaka. Meski periodisasi
sastra yang menempatkan kelahiran Balai Pustaka sebagai awal lahirnya sastra
Indonesia modern belakangan banyak digugat, tak ada yang berdebat mengenai
peran penting Balai Pustaka dalam
menumbuhkembangkan kesusastraan Indonesia Pendirian Balai Pustaka atau Kantor
Bacaan Rakyat (Kantoor voor de volkslectuur) 22 September 1917 yang
menggantikan Komisi Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor
de Indlandsche schook en Volkslectuur) yang berdiri tahun 1908, bukan
sekadar sebagai realisasi politik etis Belanda. Sutan Takdir Alisjahbana yang
pernah menjadi redaktur penerbit Balai Pustaka menyatakan:
Balai Pustaka
didirikan untuk memberi bacaan kepada orang-orang yang sudah pandai membaca,
yang tamat sekolah rendah dan yang lain-lain, disamping untuk memberikan bacaan
yang membimbing mereka supaya jangan terlampau tertarik pada aliran-aliran
sosialisme atau nasionalisme yang lambat laun toh agak menentang pihak Belanda.
Terlepas
dari persoalan politik yang melatarbelakanginya, pemerintah kolonial ketika itu
menyadari betul fungsi bacaan, khususnya sastra, dalam penyebaran ideologi
kepada masyarakat. Oleh sebab itu, mereka melakukan sensor yang ketat terhadap
naskah-naskah yang hendak mereka terbitkan. Meski demikian, karya-karya yang
lahir ketika itu tetap memperlihatkan kecendrungan semangat pemberontakan
terhadap kultur-etnis. Beberapa karya penting yang lahir dalam periode ini adalah
Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang oleh pengamat sastra
ditempatkan sebagai novel pertama Indonesia dalam khazanah kesusatraan
Indonesia modern. Walaupun tema yang mempermasalahkan perkawinan dalam
hubungannya dengan harkat dan martabat yang diusung oleh novel ini bukanlah
sesuatu yang baru, novel inilah yang pertama kali mempergunakan bahasa Melayu
tinggi atau yang biasa disebut bahasa Melayu sekolahan. Dalam konteks inilah Azab
dan Sengsara menjadi penting.
Karya
lainnya yang tak kalah penting adalah Sitti Nurbaya karya Marah Rusli.
Hampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan novel ini sebagai tonggak
sastra Indonesia pada periode ini. Novel ini tak sekadar menampilkan latar
sosial yang lebih tegas, tetapi juga mengandung kritik tajam terhadap
adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Tema-tema inilah yang
kemudian banyak diikuti oleh pengarang-pengarang lainnya pada masa itu. Bahkan
di Malaysia, Sitti Nurbaya menjadi bacaan wajib di tingkat sekolah
lanjutan sehingga pada tahun 1963 saja, novel ini telah mengalami cetak ulang
ke-11 di Malaysia. Maka tak salah jika pada tahun 1963 bersama dengan novel
Salah Asuhan, Belenggu, dan Atheis, novel ini memperoleh Hadiah Tahunan
Pemerintah. Pengarang lain pada era ini yang wajib diketengahkan adalah Abdul
Muis dengan Salah Asuhan-nya. Novel pertama karya sastrawan yang
digelari pahlawan nasional ini secara tematik tak mempersoalkan masalah
adat-istiadat yang tidak lagi sejalan dengan zamannya, tetapi lebih dari itu,
ia mengangkat persoalan kawin campur antarbangsa yang menyangkut perbedaan
adat-istiadat, tradisi, agama, dan budaya. Boleh dikatakan, Salah Asuhan
merupakan upaya pembaharuan secara tematik pada periode 20-an yang akan
menemukan bentuknya pada era setelahnya, yaitu Pujangga Baru. Majalah Pujangga
Baru yang dirintis oleh Sutan Takdir Alisjahbana (selanjutnya disebut STA),
Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Amir Hamzah berdiri tahun 1933. Melalui majalah
inilah para pengarang dari pelosok tanah air dan Semenanjung Melayu mempublikasikan
karyanya. Begitu populernya majalah ini sehingga para pengarang yang berkarya
pada ketika itu disebut sebagai sastrawan Pujanga Baru. Pada periode ini,
karya-karya yang lahir memperlihatkan semangat membangun kultur Indonesia di
masa datang yang diidealkan. Pengarang penting yang patut dikemukakan pada era
ini tentu saja STA dengan karyanya Layar Terkembang yang dianggap
sebagai karya terpenting ketiga di antara roman-roman sebelum perang. Para
kritikus sastra seperti H.B. Jassin, Ajib Rosidi, Zuber Usman, Amal Hamzah, dan
A. Teeuw menyebut novel ini sebagai novel bertendensi. Tokoh Tuti dalam novel
ini merupakan representasi sikap dan pemikiran pengarangnya dalam mengangkat
harkat martabat wanita Indonesia. Dalam periode 30-an ini lahir pula nama Hamka
yang bersama Helmi Yunan Nasution mengelola majalah Pedoman Masjarakat. Dari
majalah ini lahir karya penting dari tangan Hamka, yaitu Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijk. Meski secara tematik novel ini masih belum beranjak dari
persoalan cinta dan perkawinan dalam hubungannya dengan adat, tetapi Hamka
tampaknya tak hendak mempertentangkan secara tegas golongan muda dengan
golongan tua, ia lebih menekankan pada pribadi manusianya itu sendiri. Namun,
justru dalam pengembangan masalah adat itulah, problematika dalam novel ini
menjadi sangat terasa. Nama lain yang layak disebut dalam periode 30-an ini
adalah Selasih (nama samara lain; Sariamin = Seleguri = Sri Gunting = Sri
Tanjung = Ibu Sejati = Bundo Kandung = Mande Rubiah). Novelnya Kalau Tak
Untung mengantarkannya sebagai pujangga wanita Indonesia yang pertama.
Dalam kaitannya dengan hal inilah Kalau tak Untung menjadi karya yang
sangat penting, meski secara tematik masih menampilkan persoalan yang sama
dengan pengarang-pengarang periode 20-an. Nama Sanusi Pane sebagai antipode STA
tentu tak bisa begitu saja diluputkan, selain Amir Hamzah yang disebut sebagai
pembaharu puisi di era ini. Namun yang patut dicatat dari periode Pujangga Baru
adalah pada kurun inilah pertama kali kebudayaan Indonesia dirumuskan melalui
polemik antara STA dengan Sanusi Pane, Purbatjaraka, Ki Hajar Dewantara, dll,
yang dikenal dengan Polemik Kebudayaan. Meski banyak yang menyetujui pemikiran
Sanusi Pene dengan gagasan penyatuan Arjuna dengan Faust yang menghasilkan
sintesa Timur dan Barat, tetapi tak pernah terlontar kata sepakat yang
melahirkan pernyataan bersama dalam rumusan kebudayaan Indonesia di masa
datang. Persoalan Polemik Kebudayaan ini baru terselesaikan ketika Chairil
Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin memelopori “Surat Kepercayaan Gelanggang”.
Kalimat pertamanya yang berbunyi: “Kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri,”
mengisyaratkan terbukanya angkatan ini menerima pengaruh asing dan kemudian
merumuskannya sendiri berdasarkan keberagaman kultur keindonesiaan. “Surat
Kepercayaan Gelanggang” inilah yang kemudian menjadi konsepsi seni dan budaya
bagi generasi yang dikenal dengan Angkatan 45. Karya penting yang lahir sebagai
wujud dari pernyataan bersama tersebut adalah Tiga Menguak Takdir. Buku
ini memuat puisi-puisi karya Chairil Anwar, Asur Sani, dan Rivai Apin. Secara
implisit, judul Tiga Menguak Takdir seolah hendak menegaskan sikap
generasi ini yang dapat dipandang sebagai jawaban dari Polemik Kebudayaan yang
muncul karena gagasan Sutan Takdir Alisjahbana. Nama lain yang tak bisa
dinafikan dari peta sastra anggkatan 45 adalah drus. Jika Chairil disebut
sebagai pembaharu puisi pada periode ini, Idrus disebut-sebut oleh H.B. Jassin
sebagai pembaharu prosa melalui cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam buku Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Wacana eksistensialisme menemui ruangnya
pada periode ini. Puncaknya tentu saja lahirnya cerpen Atheis dari
tangan Achdiat K. Mihardja yang seolah menjadi jawaban dari kegelisahan manusia
yang hidup pada masa itu. Jika menilik perjalanan kepengarangan para sastrawan
sejak dari angkatan Balai Pustaka sampai Angkatan 45, hampir kebanyakan
pengarang pada masa itu tumbuh dalam kultur membaca yang muncul akibat sistem
pendidikan kolonial ketika itu yang mewajibkan siswanya membaca karya sastra
minimal 25 judul dalam rentang masa pendidikan selama tiga tahun di AMS.
Kondisi itulah yang memungkankan para pengarang ketika itu berkenalan dengan
karya-karya sastrawan dunia seperti Shakespeare (Inggris), Johan Wolfgang von
Goethe (Jerman), Leo Tolstoy (Rusia), Rabindranath Tagore (India), Baidaba
(Persia), dll. Dan dari perkenalan dengan sastrawan dunia itulah terjadi
tranformasi nilai-nilai yang secara otomatis membentuk karakter bangsa ketika
itu. Demikianlah perbincangan sejarah sastra yang serba sedikit dan terbatas
hanya pada periode Balai Pustaka sampai Angkatan 45.
Penulis
dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka:
SASTRAWAN ANGKATAN '45.
Pengalaman hidup dan gejolak
sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra
angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang
romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita
tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki
konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep
ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai
alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada
periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis
dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Karya Sastra Angkatan 1945
- Chairil Anwar
- Kerikil Tajam (1949)
- Deru Campur Debu (1949)
- Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar
- Tiga Menguak Takdir (1950)
- Achdiat K. Mihardja
- Atheis (1949)
- Utuy Tatang Sontani
- Suling (drama) (1948)
- Tambera (1949)
- Awal dan Mira - drama satu babak (1962)
- Suman Hs.
- Kasih Ta' Terlarai (1961)
- Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
- Pertjobaan Setia (1940)
SASTRAWAN
ANGKATAN 50
Angkatan 50-an ditandai dengan
terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang
didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan
sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan
komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga
Kebudajaan Rakjat
(Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara
kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960;
menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis
dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di
Indonesia.
Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an
SASTRAWAN ANGKATAN 1966
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya
Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis. Semangat avant-garde sangat
menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat
beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran
surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya
sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini.
Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil
Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi
Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya
Karya Sastra Angkatan 1966
PENULIS CERITA REMAJA
PADA DEKADE 1980 DAN 1990
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai
dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada
masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa
angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade
1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno
Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky
Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan
Tajuddin
Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita
Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya
antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan
Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol
pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di
mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia
yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada
umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan
novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19
dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan
idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran
antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga
tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang
dipelopori oleh Hilman
Hariwijaya dengan
serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop
inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca
karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita
Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani,
Diah Hadaning,
Yvonne de Fretes,
dan Oka Rusmini.
Karya Sastra Angkatan 1980 - 1990an
- Ahmadun Yosi Herfanda
- Ladang Hijau (1980)
- Sajak Penari (1990)
- Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
- Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
- Sembahyang Rumputan (1997)
- Arswendo Atmowiloto
- Canting (1986)
- Hilman Hariwijaya
- Lupus - 28 novel (1986-2007)
- Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003)
- Olga Sepatu Roda (1992)
- Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
- Dorothea Rosa Herliany
- Nyanyian Gaduh (1987)
- Matahari yang Mengalir (1990)
- Kepompong Sunyi (1993)
- Nikah Ilalang (1995)
- Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
- Gustaf Rizal
- Segi Empat Patah Sisi (1990)
- Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
- Ben (1992)
- Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
- Remy Sylado
- Ca Bau Kan (1999)
- Kerudung Merah Kirmizi (2002)
- Afrizal Malna
- Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
- Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990)
- Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
- Dinamika Budaya dan Politik (1991)
- Arsitektur Hujan (1995)
- Pistol Perdamaian (1996)
- Kalung dari Teman (1998)
SASTRAWAN ANGKATAN 2000
Setelah wacana tentang lahirnya
sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena
tidak memiliki juru bicara, Korrie
Layun Rampan pada
tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan
2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan
oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair,
cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam
Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun
Yosi Herfanda dan Seno
Gumira Ajidarma,
serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea
Rosa Herliany.
Karya Sastra Angkatan 2000
- Dewi Lestari
- Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
- Supernova 2.1: Akar (2002)
- Supernova 2.2: Petir (2004)
- Raudal Tanjung Banua
- Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
- Ziarah bagi yang Hidup (2004)
- Parang Tak Berulu (2005)
- Gugusan Mata Ibu (2005)
- Habiburrahman El Shirazy
- Ayat-Ayat Cinta (2004)
- Diatas Sajadah Cinta (2004)
- Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
- Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
- Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
- Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
- Dalam Mihrab Cinta (2007)
- Andrea Hirata
- Laskar Pelangi (2005)
- Sang Pemimpi (2006)
- Edensor (2007)
- Maryamah Karpov (2008)
- Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)
- Ahmad Fuadi
- Negeri 5 Menara (2009)
- Ranah 3 Warna (2011)
- Tosa
- Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
- Melan Conis (2009)
CIRI SASTRA
SETIAP RPRIODE ANGKATAN
Ciri-ciri Angkatan Balai
Pustaka
Berbicara tentang pertentangan
adat dan kawin paksa, dominasi orang tua dalam perkawinan. Gaya penceritaan
terpengaruh oleh sastra Melayu yang mendayu-dayu, masih menggunakan bahasa
klise seperti peribahasa dan pepatah-petitih. Karya-karya yang diterbitkan
Balai Pustaka diharuskan memenuhi Nota Rinkes yang berbunyi: didaktis, serta
netral agama dan politik.
Ciri-ciri Angkatan
Pujangga Baru
Menampilkan nasionalisme
Indonesia,. memasuki kehidupan modern, menampakkan kebangkitan kaum muda.
Banyak terpengaruh oleh Angkatan 1880 di Negeri Belanda, sehingga
puisi-puisinya banyak yang berbentuk soneta. Pada masa ini terjadi polemik yang
seru antartokoh-tokohnya. Sutan Takdir Alisyahbana berorientasi ke barat yang
intelektualistik, individualistuik dan materialistik, punya idealisme tinggi
akan kemajuan iptek/sains dan dunia. Sanusi Pane berorientasi ke timur (India,
Timur Tengah, Cina) yang spiritualistik, mementingkan olah ruhani.
Kemudian Armijn Pane, Amir Hamzah, Kihajar Dewantara, yang lebih menginginkan
adanya sintesis barat yang sifistikated dan timur yang sufistik.
Ciri-ciri Sastra Masa
Masa Jepang dan Angkatan 45
Bicara tentang kegetiran nasib
di tengah penjajahan Jepang yang sangat menindas, menampilkan cita-cita merdeka
dan perjuangan revolusi fisik. Pada masa Jepang untuk berkelit dari sensor
penguasa, berkembang sastra simbolik. Muncul ungkapan-ungkapan yang singkat-padat-bernas
(gaya Chairil Anwar dalam puisi) dan kesederhanaan baru dengan kalimat
pendek-pendek nan lugas (gaya Idrus dalam prosa fiksi/sketsa).
Sastra dekade 50-an
Memantulkan kehidupan masyarakat
yang masih harus terus berjuang dan berbenah di awal-awal masa kemerdekaan.
Disebut juga Generasi Kisah (nama majalah sastra). Di masa ini sastra Indonesia
sedang mengalami booming cerpen. Juga marak karya-karya teater dengan tokohnya
Motenggo Boesye, Muhammad Ali Maricar, W.S. Rendra (sekarang Rendra saja).Mulai
tumbuh sarasehan-sarasehan sastra terutama di kampus-kampus.
Sastra Angkatan ‘66
Menegakkan keadilan dan
kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD 45, menentang komunisme dan
kediktatoran, bersama Orde Baru yang dikomandani Jendral Suharto ikut menumbangkan
Orde Lama, mengikis habis LEKRA dasn PKI. Sastra Angkatan ’66 berobsesi menjadi
Pancasilais sejati. Yang paling terkenal adalah “Tirani” dan “Benteng” antologi
puisi Taufiq Ismail. Hampir seluruh tokohnya adalah pendukung utama Manifes
Kebudayaan yamng sempat berseteru dengan LEKRA.
Dekade 70-an – 80-an
Penuh semangat eksperimentasi
dalam berekspresi, merekam kehidupan masyarakat yang penuh keberagaman
pemikiran dan penghayatan modernitas. Muncul para pembaharu sastra
Indonesia dengan karuya-karyanya yang unik dan segar seperti Sutarji Calzoum
Bachri dan Yudhistira Ardi Noegraha dalamm puisi, Iwan Simatupang dan Danarto
dal;am prosa fiksi, Arifin C. Noer dan Putu Wijaya dalam teater.
Sastra Mutakhir
(Dekade 90-an dan Angkatan 2000)
Memasuki era Reformasi yang
sangat anti KKN dan praktik-praktik otoriter, penuh kebebasan ekspresi dan
pemikiran, mengandung renungan religiusitas dan nuansa-nuansa sufistik.
Menampilkan euforia menyuarakan hati nurani dan akal sehat untuk pencerahan
kehidupan multidimensional. Taufiq Ismail yang pernah terkenal sebagai tokoh
sastra Angkatan ’66 ikut mengawal Reformasi dengan bukunya antologi puisi “Malu
Aku Jadi Orang Indonesia” (MAJOI). Di samping menampilkan sanjak-sanjak peduli
bangsa (istilah yang diusung rubrik budaya Republika) dan karya-karya reformasi
yang anti penindasan, gandrung keadilan, berbahasa kebenaran (sesuai Sumpah
Rakyat 1998), muncul pula fenomena kesetaraan gender yang mengarah ke woman
libs sebagaimana tercermin dalam karya-karya Ayu Utami dari Komunitas
Sastra/Teater Utan Kayu, Jenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari. Pada era yang
bersamaan berkibar bendera Forum Lingkar Pena (FLP) dengan tokohnya HTR (Helvy
Tiana Rosa) yang berobsesi mengusung Sastra Pencerahan, Menulis Bisa Bikin Kaya
(kaya ruhani, kaya pikiran,, kaya wawasan, dan semacamnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar