PENGERTIAN
DAN HAKEKAT ETIKA PENDIDIK DAN ETIKA ILMUWAN
Kata
ilmu dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau
mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti
memahami suatu pengetahuan. Istilah ilmu
pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa
Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari ,
mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian
aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya,
dan
keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang
ingin dimengerti manusia (Ihsan Fuad, 2010:108). Ilmu harus diusahakan dengan
aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan
akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Dari
aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah
dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang
telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa
ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuanyang sistematis (Surajiyo,2009:56-57).
Menurut Bahm (dalam Koento
Wibisono,1997) definisi ilmu pengetahuan melibatkan enam macam komponen yaitu
masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity),
kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects) (Ihsan Fuad,2010:111-112).
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan
ilmiah menurut The Liang Gie (1987) mempunyai lima ciri pokok :
1. Empiris, pengetahuan
diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan
2. Sistematis, berbagai
keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai
hubungan ketergantungan dan teratur
3. Objektif,
pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi
4. Analitis,
pengetahuan ilmiah berusaha membedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang
terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari
bagian-bagian itu
5. Verifikatif, dapat
diperiksa kebenarannya oleh siapapun jug (Surajiyo,2009:59).
Sifat ilmiah dalam ilmu dapat
diwujudkan, apabila dipenuhi syarat-syarat
yang intinya adalah :
1. Ilmu harus mempunyai
objek, berarti kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian
antara pengetahuan dan objeknya
2. Ilmu harus mempunyai
metode, berarti untuk mencapai kebenaran yang objektif, ilmu tidak dapat
bekerja tanpa metode yang rapi
3. Ilmu harus
sistematik, berarti dalam memberikan pengalaman, objeknya dipadukan secara
harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur
4. Ilmu bersifat
universal, berarti kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu tidak bersifat khusus
melainkan berlaku umum(Hartono Kasmadi, 1990:8-9 dalam Ihsan
Fuad,2010:115-116).
Moral berasal dari kata Latin mos
jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya,
tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau
moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai
untuk pengkajian sistem nilai yang ada (Surajiyo,2009:147).
Frans Magnis Suseno (1987) membedakan
ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah,
peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.
Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang
berwenang seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, serta
tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi
filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral.
Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral
tidak berada ditingkat yang sama (Surajiyo,2009:147).
Kata moral dalam bahasa Yunani sama
dengan ethos yang melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat
menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka
kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang penting/berguna) dan moral tersebut
serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral
itu (Ihsan Fuad, 2010:271).
Moral merupakan kondisi pikiran,
perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan
buruk. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak
bermoral dan tidak memilki nilai positif di matamanusia lainnya. Sehingga moral
adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang
diajarkan di sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati
oleh sesamanya. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam
berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan
nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta
menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral
yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama.
Moral juga dapat diartikan sebagai sikap,perilaku, tindakan, kelakuan yang
dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman,
tafsiran, suara hati, serta nasihat.
Penerapan
dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang
menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat
manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan
umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada
dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia
(Ihsan Fuad,2010:280).
Jadi ilmu yang diusahakan dengan
aktivitas manusia harus dilaksanakan dengan metode tertentu sehingga
mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Manusia harus mempunyai moral jika ia
ingin dihormati sesamanya. Untuk menerapkan ilmu pengatahuan dan teknologi
membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan untuk proses perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi lebih lanjut.
Hubungan
antara ilmu dan moral
Merupakan kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi.
Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa
dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai
kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan,
pemukiman, pendidikan,
dan komunikasi (Suriasumantri Jujun S, 2000:229). Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya
diawali dan dikaitkan dengan sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada
saat terjadi peperangan atau ada keinginan manusia untuk memerangi orang lain,
maka ilmu berkembang, sehingga penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk
menguasai alam melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk
menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering
melupakan kedudukan atau factor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk
kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan manusia,
namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya harus
menyesuaikan diri dengan ilmu (Jujun S. Suriasumantri dalam Ihsan Fuad,
2010:273).
Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala
dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan
lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun
bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan lagi merupakan
sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan
tujuan hidup itu sendiri. Masalah teknologi
yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih merupakan masalah
kebudayaan daripada masalah moral. Artinya, dihadapkan dengan ekses teknologi
yang bersifat negatif, maka masyarakat harus menentukan teknologi mana saja
yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual maka
hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan
teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilaibudaya yang dijunjungnya
(Suriasumantri Jujun S,2000:234).
Ilmu tidak lagi berfungsi sebagai
sarana yang memberikan kemudahan dan berkah kepada kehidupan manusia, melainkan
dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sesuatu yang kadang-kadang
ironis harus dibayar mahal oleh manusia karena kehilangan sebagian arti dari status
kemanusiaannya. Manusia sering dihadapkan dengan situasi yang tidak bersifat
manusiawi, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaan dan
kebahagiaannya (Jujun S.Suriasumantri,1999 dalam Ihsan Fuad,2010:273).
Dihadapkan dengan masalah moral dalam
menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan
terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa
ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis
maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas
ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan
obyek penelitian, maka
kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam
kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari
bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita (Suriasumantri Jujun S,2000:235).
Jadi secara filsafat dapat dikatakan
bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari
segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah
moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ontologi diartikan sebagai
pengkajian mengenai hakikat realitas dari obyek yang ditelaah dalam membuahkan
pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Setiap pengetahuan, termasuk
pengetahuan ilmuah, mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang dalam
kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah.
Tanggung
jawab ilmuwan di masyarakat
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan
yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu
bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat
sosial. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang
bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan secara efektif.
Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah
warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat
namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam
kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada
penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar
produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri
Jujun S, 2000:237).
Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggung
jawab atas perubahan sosial, maka hal itu berarti ilmu telah mengakibatkan
perubahan sosial dan juga ilmu bertanggung jawab atas sesuatu yang bakal
terjadi. Jadi tanggung jawab tersebut bersangkut paut dengan masa lampau dan
juga masa depan (Ihsan Fuad,2010:281).
Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk meramalkan
apa yang akan terjadi. Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan ilmu dan
teknologi kita di masa depan berdasarkan proses pendidikan keilmuan sekarang.
Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan juga harus dapat mempengaruhi
opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari (Suriasumantri Jujun S,2000:241).
Tanggung jawab ilmu atas masa depan
pertama-tama menyangkut usaha agar segala sesuatu yang terganggu oleh campur
tangan ilmu bakal dipulihkan kembali. Campur tangan ilmu terhadap masa depan
bersifat berat sebelah, karena sekaligus tertuju kepada keseimbangan dalam alam
dan terhadap keteraturan sosial. Gangguan terhadap keseimbangan alam misalnya
pembasmian kimiawi terhadap hama tanaman, sistem pengairan, dan sebagainya.
Perlu diingat bahwa keberatsebelahan itu sebenarnya bukan hanya karena tanggung
jawab ilmu saja, melainkan juga oleh manusia sendiri (Ihsan Fuad, 2010: 282).
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia
yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya
mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang menjadi
bahan pemikirannya dikajidengan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau
menerima sesuatu begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat. Disinilah
kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir seorang awam
(Suriasumantri Jujun S, 2000 : 243).
Untuk memahami ihwal tanggung jawab
manusia , kiranya baik juga diketengahkan dengan singkat alam pikiran Yunani Kuno.
Menurut alam pikiran Yunani Kuno, ilmu adalah theoria, sedangkan keteraturan
alam dan keteraturan masyarakat selalu menurut kodrat Ilahi. Setiap keteraturan
adalah keteraturan ilahi dan alam (karena mempunyai keteraturan) bahkan dianggap
sebagai Ilahi atau sebagai hasil pengaturan Ilahi (Ihsan Fuad, 2010: 285).
Di bidang etika tanggung jawab sosial
seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi namun memberi contoh. Dia harus
tampil di depan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik,
menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan
kalau perlu berani mengakui kesalahan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan
kekuatan yang akan memberinya keberanian. Demikian juga dalam masyarakat yang
sedang membangun maka dia harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan
memberikan suri teladan (Suriasumantri Jujun S, 2000: 244).
Jadi bila kaum ilmuwan konsekuen dengan
pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral , maka salah
satu penyangga masyarakat modern akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar
penyangga keilmuan itu merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Tanggung
jawab juga menyangkut penerapan
nilai-nilai etis setepat-tepatnya bagi ilmu di dalam kegiatan praktis dan upaya
penemuan sikap etis yang tepat, sesuai dengan ajaran tentang manusia dalam
perkembangan ilmu.
BAB III
KESIMPULAN
1.Ilmu atau ilmu
pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia
dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Moral adalah sistem nilai
(sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham (ideologi)
sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari generasi
ke generasi berikutnya. Jadi hubungan antara ilmu dan moral adalah sangat erat
bahwa setiap usaha manusiauntuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan
pemahaman dari berbagai segi harus berpedoman
pada ajaran agama dan paham ideologi dalam bersikap dan bertindak.
2.Tanggung jawab
ilmuwan di masyarakat adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk mengetahui
masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan sosial tersebut. Seorang
ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga
masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun
yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam
kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada
penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab
agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu,
Jakarta : Rineka Cipta, 2010.
Prawironegoro Darsono, Filsafat
Ilmu Pendidikan, Jakarta : Nusantara Consulting,
2010.
Suriasumantri Jujun S, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu
Pengantar, Jakarta : Rineka Cipta, 2008.
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2009.
untuk melengkapi perpustakaan makalah silahkan klik download dibawah ini
semoga bermanfaat
konten yang bagus terimakasih sangat berguna!
BalasHapuspostingannya bagus
BalasHapusterimakasih